Halili, M.A |
Seluruh perguruan tinggi negeri telah melaksanakan salah satu hajat penting yaitu Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) tahun 2015. Sejalan dengan daya tampung nasional yang meningkat hampir 8,9% dari tahun lalu, daya tampung PTN di Jogja tahun ini juga meningkat.
Sebagai Kota Pendidikan, Jogja akan segera kedatangan warga baru dalam jumlah besar. Mengacu pada daya tampung 6 PTN melalui SBMPTN saja, tiga puluh ribuan mahasiswa baru akan menyerbu Daerah Istimewa ini, belum lagi mahasiswa baru PTS. Dalam perspektif politik kota, situasi tersebut harus mendapat respons kebijakan yang memadai dari pemangku kebijakan, terutama Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta serta Kota dan Kabupaten penyangganya.
Politik kota (urban politics) yang dimaksud tentulah relasi kuasa yang berkenaan dengan aktivitas dan hidup masyarakat mulai mencicipi arena perkotaan (urbanized communities). Politik kota berkaitan dengan aktivitas produksi dan reproduksi hidup mereka, yang melibatkan konflik dan kerjasama, yang mengarah pada munculnya masalah dan resolusinya melalui pembuatan kebijakan kolektif (Gerry Stoker, 1995).
Keberadaan mahasiswa baru dalam jumlah besar, tentu memberikan beberapa dampak positif, antara lain, pertama, secara kultural urbanisasi calon-calon sivitas akademika tersebut akan terus meneguhkan status dan posisi Jogja sebagai “kawah candradimuka” kaum terdidik di Indonesia.
Kedua, bagi pertumbuhan ekonomi, tentu ini memberikan kabar baik. Potensi konsumsi para warga kelas menengah akan meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi. Pengarusutamaan (mainstreaming)program kewirausahaan melalui perguruan-perguruan tinggi negeri dan swasta tentu akan menjadi insentif tambahan bagi perekonomian Jogja.
Namun demikian, kehadiran mahasiswa baru dalam jumlah besar itu tentu akan memunculkan masalah-masalah perkataan baru (urban issues). Pertama, potensi ketegangan dan konflik sosial. Pemerintah daerah harus memiliki prakarsa yang memadai untuk meminimalisasi konflik sosial atau ketegangan komunal. Keberadaan kantong-kantong sosial berbasis daerah, suku, dan etnis, yang juga beririsan dengan agama dan tradisi, berpotensi menimbulkan gesekan-gesekan.
Secara faktual, pengalaman ketegangan sosial pasca “kasus premanisme” di LP Cebongan telah mendorong polarisasi “milisi-milisi” kedaerahan. Mahasiswa-mahasiswa berbasis daerah yang gagal menuntaskan studi secara optimal sesuai tujuan awal mereka ke Jogja, mulai banyak menimbulkan masalah sosial-keamanan baru. Hal ini diwarnai dengan konteks industrial baru, dimana jasa keamanan merupakan komoditas yang sangat menjanjikan. Kalau pemerintah tidak merespons situasi ini dengan kebijakan yang memadai, bukan tidak mungkin letupan-letupan premanisme dan konflik sosial berbasis kedaerahan akan marak, seperti yang kerapkali terjadi di Ibukota.
Kedua, segregasi sosial. Pemerintah daerah juga tidak bisa menutup mata atas kesenjangan sosial-ekonomi yang potensial muncul dari urbanisasi mahasiswa baru. Mahasiswa-mahasiswa yang menempuh studi di Yogyakarta sebagian besar berasal dan menampilkan perilaku kelas menengah yang berpotensi bergesekan dengan kearifan kultural dan pola kolektif perilaku masyarakat lokal.
Ketiga, kemacetan kota. Kedatangan mahasiswa baru tentu akan menambah volume kendaraan di Jogja. Apalagi, pada kenyataannya warga yang datang untuk studi tidak berbanding lurus dengan warga yang pergi karena sudah menuntaskan studi.
Keempat, potensi jaringan kriminalitas, khususnya narkoba. Sinyalemen bahwa kos-kosan dan asrama mahasiswa Jogja merupakan sarang narkoba sudah sangat benderang.
Dalam perspektif politik kota, pemerintah dan masyarakat sipil merupakan agen utama pembuatan keputusan bersama untuk kepentingan bersama kehidupan masyarakat kota. Kedatangan mahasiswa baru tentu tidak bisa kita baca sebagai inti masalah yang muncul di kota. Masalah-masalah ekoran dari urbanisasi mahasiswa baru sesungguhnya hanyalah ujian bagi keseriusan kota dalam melaksanakan fungsi puclic service dan decision-making.
Di samping itu, partisipasi masyarakat sipil memainkan peran yang besar, terutama dalam pendidikan kewargaan untuk menjadikan mereka sebagai warga yang cerdas (smart citizen). Tanpa warga cerdas, kota akan berubah menjadi arena bagi berlakunya hukum rimba: yang kuatlah yang menang!
Halili, M.A
Koordinator Link De HAM FIS UNY & Dosen PKnH FIS UNY
Artikel ini di buat dalam Opini Tribun Jogja, 10 Juni 2015 di Kutip dari http://www.kompasiana.com/halilintarputrapetir
Halili, M.A
Koordinator Link De HAM FIS UNY & Dosen PKnH FIS UNY
Artikel ini di buat dalam Opini Tribun Jogja, 10 Juni 2015 di Kutip dari http://www.kompasiana.com/halilintarputrapetir
0 Comments:
Posting Komentar